Selasa, 11 Januari 2011

Kelahiran JOKOTOLE dan AGUS WEDI

Pada zaman dahulu kala, yaitu sekitar abad 13, di Madura, tepatnya di Sumenep, ada seorang raja yang bernama Pangeran Mandaraga. Disebut Mandaraga karena tempat tinggalnya di Mandaraga. Pangeran Mandaraga mempunyai dua orang putera, yang pertama adalah Pangeran Bukabu, dan yang kedua adalah Pa­ngeran Baragung. Disebut Bukabu karena tempat tinggalnya di Bukabu, dan Baragung karena tempat tinggalnya di Baragung.

Ketika Raja Mandaraga wafat, jenazahnya dimakam­kan di tempat itu juga (sekarang Mandaraga menjadi sebuah kampung di Desa Keles Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep). Di sebelah timur laut sumber Mandaraga adalah makam Pangeran Mandaraga, yang oleh orang-orang desa itu disebut "Asta Patapan", (makam pertapaan), karena pada zaman dahulu banyak orang yang datang bertapa di tempat yang dikera­matkan itu.

Tak banyak diceritakan mengenai kehidupan Raja Mandaraga termasuk kedua puteranya, yaitu Pangeran Bukabu dan Pangeran Baragung. Yang diceritakan hanya Pangeran Bukabu dan Pangeran Baragung meninggal dunia. Jenazah Pangeran Bukabu dimakamkan di Bukabu (sekarang Bukabu menjadi sebuah desa di Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep). Sedangkan Pangeran Baragung dimakamkan di Baragung (sekarang Baragung menjadi sebuah desa di Kecamatan Guluk-Guluk Kabu­paten Sumenep). Pangeran Bukabu banyak menurunkan Para Kyai dan alim ulama di Madura umumnya dan di Sumenep pada khususnya.

Pangeran Baragung meningggalkan seorang puteri yang bernama Endhang Kilengan. Ia bersuamikan Bramakanda. Dan, dalam perkawinannya itu, mereka dikarunia seorang putera yang bernama Wagungrukyat. Setelah Wagungrukyat menginjak dewasa, ia menjadi raja di Sumenep, dengan julukan Pangeran Saccadining­rat. Keratonnya terletak di Desa Banasare (sekarang Ba­nasare termasuk Kecamatan Rubaru).

Pangeran Saccadiningrat kawin dengan saudara sepupu ibunya, yaitu Dewi Sarini. Tidak lama mereka dikaruniai seorang puteri bernama Saini, dengan julukan Raden Ayu Potre Koneng. Kulitnya mengkilat serta me­miliki wajah yang sangat cantik.

Setelah Raden Ayu Potre Koneng menginjak remaja, bapak ibunya menghimbau agar ia kawin. Namun, ia menolak karena tidak mengetahui sama sekali tentang masalah perkawinan. la lebih senang berbakti kepada Allah daripada kawin. Karma itu pada suatu hari, ia berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke goa Payudan. Ia akan bertapa di tempat tersebut. Setelah direstui oleh ibu bapaknya, lalu ia berangkat bersama tiga orang pengiringnya.

Dalam menjalani masa pertapaannya itu, Raden Ayu Potre Koneng tidak makan, tidak minum, dan tidak Pula tidur. Setelah sampai tujuh malam, ketika itu malam tanggal empat belas, ia tertidur. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi didatangi seorang laki-laki yang roman mukanya sangat tampan. Laki-laki tersebut mengaku bernama Adipoday. Ketika itu Raden Ayu Potre Koneng terkejut, lalu bangun, "Oh, aku bermimpi," katanya. Setelah pagi hari ia pulang ke Sumenep.

Alkisah, ada dua orang pertapa bersaudara. Mereka adalah putera-putera Panembahan Balinge yang bergelar Ario Pulangjiwo. Yang seorang bernama Adipoday, dan yang satu lagi bernama Adirasa. Adipoday bertapa di gunung Gegger, dan Adirasa di ujung gelagah.

Dari hari ke hari, bulan berganti bulan, kini perut Raden Ayu Potre Koneng semakin besar. Ia hamil. Dan kehamilannya itu, membuat bapak ibunya marah, hingga pada suatu hari ia akan dihukum mati. Bapak ibunya tidak kuat menahan rasa malu karma puteri satu-satunya hamil diluar nikah. Bapak ibunya akan merasa malu andaikata peristiwa ini didengar oleh raja-raja yang lain. Di samping itu, akan mencemarkan nama baik kerajaan clan keluarga besar keraton. Itulah pandangan kedua orang tua Raden Ayu Potre Koneng mengenai kehamilan puterinya.

Apa yang terjadi setelah Pangeran Saccadiningrat memberi putusan hukuman mati terhadap puterinya? Berbagai upaya dilakukan oleh permaisuri, para menteri dan Patih yang menaruh belas kasihan kepada Raden Ayu Potre Koneng. Mereka mengadakan perundingan, mencarikan jalan untuk memperoleh keringanan cara un­tuk melunakkan hati baginda raja. Akhirnya, baginda raja berkenan merubah keputusannya, dengan syarat supaya puterinya tidak sampai terlihat beliau.

Dengan batalnya keputusan hukuman mati itu, Raden Ayu Potre Koneng disembunyikan agar tidak terlihat ba­ginda raja.

Begitulah, ketika kandungannya berusia sembilan bulan, maka pada suatu malam bertepatan dengan tanggal empat belas, Raden Ayu Potre Koneng melahirkan se­orang bayi laki-laki. Sang puteri melahirkan tanpa mengucurkan darah setetes pun, dan tanpa mengeluarkan ari-ari pula. Sang bayi tampak elok, bersih, dan berseri­seri, mengingatkan sang puteri kepada orang yang pernah datang dalam mimpinya.

Kelahiran bayi mungil itu membuat sang puteri me rasa takut dan malu pada bapak ibunya. Ta takut disangka berbuat yang tidak baik. Karena itu, Raden Ayu Potre Koneng memanggil dayangnya.

"Mbok! Sebenarnya aku tidak tega menyingkirkan bayi ini. Tapi apes boleh buat, inilah satu-satunya cares terbaik," kata sang puteri memelas.

"Maksud Tuan puteri?" tanyanya agak heran.

"Bawalah bayi ini ke tempest yang jauh," perin­tahnya, tapi ingest yes, Mbok, jangan di letakkan di sarang macan. Aku khawatir dimakan."

"Segala titah Tuan puteri akan hamba laksanakan demi keselamatan Jeng puteri," jawab si Mbok.

Dengan belaian kasih sayang, dilepaslah bayi itu dari pangkuan ibundanya. Lalu, diserahkannya kepada Si Mbok. Bayi tersebut dibawanya menuju arah selatan. Sementara pipi sang puteri penuh dengan deraian air mates mengenang nasib puteranya tercinta.

Menjelang matahari terbit, Si Mbok tadi telah sampai ke alas gunung selatan. Bayi yang masih kemerah-merahan itu diletakkan di suatu tempest yang benar-benar terjamin keamanannya. Di bawah pohon yang rindang itulah sang bayi diletakkan, lalu ditutup dengan dedaunan. Selesai melaksanakan tugasnya, inang pengasuhnya itu pulang kembali ke keraton.

Beberapa saat kemudian, inang pengasuhnya tiba di keraton. Dan, memberikan laporannya mengenai tugas yang diberikan.

Diceritakan bahwa di daerah lain, yaitu di Desa Pakandangan (sekarang Pakandangan termasuk Kecama­tan Bluto Kabupaten Sumenep), hiduplah seorang laki­laki bernama Empo Kelleng. Dalam kegiatan sehari­harinya, is bekerja sebagai pandai besi. Membuat keris, pisau, dan perkakas pertanian.

Telah sekian tahun lamanya Empo Kelleng hidup berumah tangga, is masih belum dikarunia keturunan. Berbagai usaha yang is lakukan, tapi usahanya itu masih belum membuahkan hasil. Sampai-sampai is pergi ke dukun, tapi tidak berhasil juga.

Di samping sebagai pandai besi, Empo Kelleng juga memelihara kerbau. Tiap pagi binatang piaraannya itu diumbar ke hutan. Dan, bila senja pulang sendiri, lalu masuk ke kandangnya. Begitulah kerbau Empo Kelleng setiap harinya.

Di antara kerbau yang banyak tadi, ada seekor kerbau betina yang berbulu putih mulus serta paling bagus dibandingkan yang lain. Ketika bayi tadi dibuang ke hutan, kerbau putih itu barn selesai menyusui anaknya. Dengan kekuasaan Allah, pada saat bayi diletakkan di hutan, secara diam-diam kerbau putih tadi berlari ke tempat bayi itu, lalu menyusuinya. Di samping menyusui, kerbau putih itu menjaganya agar tidak sampai dimakan binatang buas. Begitulah pekerjaan sehari-harinya, serta setiap pulang mesti selalu teriambat.

Tingkah laku yang aneh dari kerbau putihnya itu, membuat Empo Kelleng curiga. Karena itu, is meneliti setiap kerbaunya pulang dari hutan setelah seharian men­cari makan di tempat tersebut. Sudah berapa hari aku teliti kerbau yang putih ini, pasti datangnya selalu paling akhir dan perutnya kempes. Badannya semakin kurus. barangkali kerbau yang satu ini dipekerjakan oleh orang. Besok akan kubuntuti dari jauh agar aku tahu apa yang menjadi penyebabnya, pikir Empo Kelleng dalam hatinya.

Keesokan harinya ketika matahari baru terbit, kerbau-kerbau itu dikeluarkan dari kandangnya sebagai­mana hari-hari sebelumnya. Empo Kelleng melihat kerbau putih keluar serta berjalan di barisan paling depan. Sedang­kan kerbau-kerbau lainnya ditinggalkan. Lalu Empo Kelleng membuntutinya dari jauh. Sesampainya di hutan, kerbau putih itu terus menuju ke bawah pohon tempat bayi diasingkan.

Setelah Empo Kelleng sampai di bawah pohon, is mendapati seorang bayi laki-laki yang sedang disusui kerbau miliknya. Raut wajahnya sangat tampan dan berseri-seri. Betapa gembiranya hati Empo Kelleng sebab dirinya memang sangat mendambakan ketu­runan.

Demikianlah, maka bayi tadi digendongnya dan di­bawa pulang ke rumahnya. Isterinya sangat senang, begitu suaminya menyerahkan bayi tersebut.

"Anak siapa ini, Kak?" tanya isterinya sambil mene­rima bayi, lalu dipangku dan diusap-usap dahinya.

"Bayi ini kutemukan di hutan tempat kerbau kita mencari makan, " jawab suaminya dengan perasaan bangga.

"Kasihan ya, Kak. Lalu siapa yang menyusui?" tanyanya lagi.

"Ya, kerbau yang putih itu." jawab Empo Kelleng.

Nyai Empo yang telah lama mendambakan keha­diran seorang anak, tanpa disangka-sangka akhirnya menggendong bayi juga. Walaupun bayi tersebut tidak dilahirkan oleh Nyai Empo, namun sikapnya bagaikan seorang ibu yang baru melahirkan. Ia minum jamu, susunya dibuat besar supaya keluar air susu.

Nyai Empo ingin sekali menyusui bayinya. Namun, usahanya itu tidak berhasil. karena itu, maka bayi tetap menyusu pada kerbau putih. Dan, memberinya nama "Jokotole".

Sejak Empo Kelleng mempunyai anak Jokotole, siang ma'am tamu-tamu berdatangan dengan membawa oleh-oleh. Ada yang memberi uang untuk membelikan bajunya. Dan sejak saat itu pula, rezeki keluarga Empo Kelleng semakin bertambah. Dari pemberian orang­orang yang berkunjung ke rumahnya menyebabkan Empo Kelleng semakin kaya.

Lain halnya dengan Raden Ayu Koneng. Ia ber­mimpi lagi untuk yang kedua kalinya. Ia didatangi orang yang pernah datang dalam mimpinya dulu sampai tidur bersama di malam itu. Perstiwa ini terjadi di keraton Sumenep. Dan, ketika bangun, is terkejut. Sebentar duduk, kemudian tengkurap ke bantal. Dalam hatinya sangat gelisah karma peristiwa beberapa tahun yang silam takut terjadi lagi. "Kalau aku hamil lagi, pasti aku akan dihukum mati oleh orang tuaku. Mereka pasti me- nyangka bahwa aku tidak mau dinikahkan sebab mem­punyai pacar maling sakti itu," kata Raden Ayu Potre Koneng dalam hatinya.

Pada malam itu, is menangis tersedu-sedu, meratapi nasibnya. Mendengar ada orang menangis, lalu inang pengasuhnya bangun.

"Ada apa Tuan Puteri malam-malam begini me­nangis? tanyanya terheran-heran. "Tapi dulu-dulunya bila Tuan puteri bangun tidur, iangsung mengambil air wuduk, terns bersembahyang dan membaca Al-Qur'an hingga matahari terbit."

"Aku bermimpi lagi, Mbok," jawab sang puteri. "Mimpi apa Tuan puteri?" tanyanya lagi.

"Laki-laki yang pernah datang dalam mimpiku dulu, kini datang lagi. Ia mengaku bernama Adipoday. Aku takut, Mbok. Yang jelas kalau ketahuan aku hamil, pasti tidak akan mendapat ampunan dari bapakku."

"Yuan puteri jangan khawatir. Benar macan itu galak, namun sejak zaman kuno hamba belum pernah mendengar berita bahwa macan itu makan anaknya sendiri," ujar Si Mbok menenangkan Raden Ayu Potre Koneng.

Sang puteri kembali agak tenteram jiwanya, walau­pun masih ada rasa gelisah dalam perasaannya.

Hari bertambah hari, bulan berganti bulan, perut sang puteri semakin besar. Ia hamil untuk yang kedua kalinya.

Bagaimana tanggapan bapak ibunya setelah mengetahui perut puterinya besar?

Biarpun sang puteri berusaha agar bapak ibunya tidak tahu bahwa dirinya hamil, akhirnya ketahuan juga. Pada suatu hari bapak ibunya tahu bahwa perut pu- terinya besar. Namun mereka tidak menanyakan apa­apa, sebab hal itu disangka penyakitnya yang dulu kambuh lagi.

Setelah kehamilan Raden Ayu Potre Koneng genap bulannya, pada waktu tengah malam lahirlah seorang bayi laki-laki. Rant wajahnya tidak berbeda dengan Jokotole. Ia sangat tampan dan berseri-seri.

Demikianlah, bayi yang baru lahir itu hendak di­asingkan ke hutan juga sebagaimana kakaknya dulu. Inang

pengasuhnya secara diam-diam menggendong bayi ter­.

sebut menuju arah selatan. Sampai di sebuah hutan tempat kakaknya dulu diasingkan, lalu si bayi diletakkan di bawah pohon besar yang menjadi tempat singgah dan tidurnya burung-burung.

Di bawah pohon itu sangat sepi, tidak ada bekas telapak kaki orang berjalan. Dan, sebanyak burung yang berhenti, apalagi burung yang bermalam di pohon sama­sama memaruhkan makanan ke mulut bayi tersebut se­perti memaruhkan makanan pada anaknya sendiri. Itulah yang menjadi makanan bayi sehari-harinya.
Alkisah di daerah lain ada orang yang bernama Kyai Padhemmabu. Pada waktu malam hari, is melihat cahaya kemilauan dari arah timur. Saat itu pula is mendekatinya. Semakin didekati sinar tadi, semakin terang cahayanya. Akhirnya sirna seketika. Kyai Padhemmabu cepat-cepat mendekati bekas sinar itu, lalu melihat seorang bayi laki­laki, yang tadinya merupakan seberkas sinar. Diambilnya bayi tersebut dan digendong, lalu dibawa pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah bayi itu diberikan kepada anak perempuannya. Anaknya sangat senang ketika mene­rimanya, karma mendapat anak tanpa hamil sendiri. Oleh karma itu, maka kehadiran bayi tersebut dianggap seperti anaknya sendiri. Bayi itu disusui sendiri, dan diberi nama "Agus Wedi" (Banyak Wedi).

Dalam asuhan Kyai Padhemmabu, bayi Agus Wedi tumbuh dan berkembang menjadi besar. Kini is telah berusia lima tahun. Dan, tiap hari tiada lain pekerjaan­nya adalah ikut menggembala sapi ke tegal-tegal.

Lain halnya dengan kakaknya, Jokotole. Ia sudah berumur lebih dari enam tahun. Bila Empo Kelleng hendak berangkat ke tempat kerjanya, Jokotole ingin ikut, namun tidak diijinkan karma is sangat nakal, takut terkena apinya. Jokotole memang sangat disenangi oleh Empo Kelleng dan isterinya.

Keinginan Jokotole untuk ikut bapaknya, akhirnya terkabul juga. Ia terpaksa ikut ke tempat bapaknya bekerja. Ketika waktu zuhur tiba, Empo Kelleng dengan Para pe­kerjanya beristirahat untuk bersembahyang. Semua per­kakas besinya disimpan.

Ketika Empo Kelleng dan Para pekerjanya ber­sembahyang, Jokotole lalu menyulut api. Sambil mem­bakar besi, dibuatlah perkakas seperti arit, beliung, linggis, dan lain-lain. Bentuknya lebih bagus daripada buatan Empo Kelleng. Sedangkan yang dipergunakan sebagai perkakas pembuatan adalah lututnya. Lutut dipergunakan sebagai alas, dan tangannya sebagai palu, jari-jari sebagai jepit dan kikir. Ada yang mengatakan bahwa cara pembuatannya hanya dipijit dengan jari­jarinya.

Begitu Empo Kelleng dan para pekerjanya selesai bersembahyang, lalu mereka melihat banyak perkakas yang sudah selesai dibuat. Mereka merasa heran melihat perkakas sebanyak itu. Namun tidak menyangka sama sekali bahwa hal itu hasil pekerjaan Jokotole.

Selanjutnya pekerjaan itu dikerjakan oleh Jokotole sampai beberapa hari, namun tak satu pun orang yang tahu.

*Dikutip dari :Buku "Babad Sumenep" ( Karangan R.Werdisastra )

.................................

Kisah Joko Tole pergi ke Majapahit

Alkisah, di pulau Madura ada sebuah desa, namanya Pakadhangan. Desa ini termasuk wilayah Kabupaten Sumenep. Seorang pandai besi sangat terkenal bernama Empu Keleng, Empu Keleng mempunyai seorang anak angkat bernama Joko Tole. Ayah kandung Joko Tole adalah seorang raja yang bernama Adipeday. Ia sedang bertapa di gunung Ghegher. Ibunya bernama Raden Ayu Pottre Koneng, bertapa di gunung Pajhuddhan, wilayah Pamekasan.

Saat itu Kerajaan Majapahit bertahta seorang raja bernama Sri Baginda Brawijaya. Ia memerintahkan membuat pintu gerbang besi yang besar dan megah. Empu Keleng dipanggil untuk ikut melaksanakan pembuatannya. Ia pun berangkat ke Majapahit.

Pintu gerbang Majapahit sudah dikerjakan selama setahun tetapi belum selesai. Para pandai besi merasa terlalu lama meninggalkan rumahnya untuk mengerjakan gerbang itu. Empu Keleng pun jatuh sakit. Joko Tole, ayahmu sedang sakit, berangkatlah segera ke Majapahit menengok ayahmu, kata Ibu Joko Tole. Joko Tole pun segera menyusul ayahnya di Majapahit. Pekerjaan di bengkel besi diserahkan kepada teman-temannya.

Setelah berjalan melewati beberapa desa, Joko Tole memasuki sebuah hutan yang lebat. Di situ ia bertemu seseorang Selamat datang Joko Tole, seru seorang yang mengenakan ikat kepala dan jubah hitam. Jangan terkejut, aku Adipeday, ayahmu, tambahnya. Joko Tole segera mencium tangan ayahnya.

Ayah Joko Tole menyampaikan bahawa membangun pintu gerbang besi Majapahit tidak mudah dan lama. Ia memberi bunga hutan yang harus dimakan. Kelak akan keluar pateri dari dalam pusar, setelah tubuh Joko Tole dibakar. Bunga hutan itu diterima Joko Tole dan dimakannya. Kemudian Joko Tole meneruskan perjalanannya dan ditemani adiknya bernama Agus Dewi.

Kedua bersaudara ini berjalan beriringan. Mereka asyik berbicara tetapi selalu waspada jika ada ancaman bahaya. Perjalanan mereka menuju pantai untuk menyeberangi selat Madura. Ketika tiba, betapa senangnya mereka melihat perahu. Sang nakhoda memerintahkan awak perahu untuk menyiapkan segalanya, namun ia tidak suka Joko Tole naik ke perahunya. Karena itu ia berbohong dengan mengatakan perahu sudah penuh.

Ternyata perahu itu tidak bisa berlayar, karena kesaktian Joko Tole. Setelah akhirnya Joko Tole dan Agus Dewi diperkenankan naik perahu, barulah perahu itu dapat berlayar.

Daratan pulau Jawa telah nampak. Perahu segera merapat ke dermaga. Tibalah mereka di kota Gresik. Di alun-alun, keduanya didekati oleh seorang lelaki, ia seorang Perdana Menteri yang diperintahkan untuk mencari kedua pemuda itu. Kalian tentu pemuda yang dalam impian raja Gresik. Kata sang perdana Menteri itu. Raja Gresik sangat gembira melihat kedatangan kedua anak muda itu. Keduanya dianggap anak sendiri. Setelah beberapa hari mereka tinggal di istana Gresik, Joko Tole mohon diri untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Sedang Agus Dewi tetap tinggal di istana, dan kelak akan dinikahkan dengan puteri kerajaan dan bertahta menjadi raja di Gresik.

Setelah Joko Tole sampai di Majapahit. Ia bertemu dengan Empu Keleng. Mereka saling melepaskan rindu. Sementara itu, Sang raja Brawijaya kecewa karena pintu gerbang belum beres. Saya minta laporan kenapa pekerjaan kalian belum siap? sabda sang Raja. Semua pandai besi terdiam. Kalian harus bekerja keras agar besok pagi bisa selesai, sabdanya lagi. Ketika melihat ada anak muda sang raja bertanya, Hai, siapa kamu anak muda? Hamba Joko Tole, anak Empu Keleng. Kata Joko Tole sambil menyembah. Ia menerangkan, hendak membantu ayahnya. Ia pun menyanggupi menyelesaikan pintu gerbang dalam satu malam termasuk dihukum berat, bila tidak menepati janji.

Empu Keleng merasa disambar petir mendengar kesanggupan Joko Tole. Bila tidak berhasil, pasti Joko Tole akan menerima hukuman berat. Sebaliknya para pandai besi sangat girang. Sesudah tengah hari, Joko Tole ke tempat pembangunan pintu gerbang. Bapak-bapak sekalian, aku mempunyai pateri yang sangat hebat. Bakarlah badanku, dari dalam pusarku akan keluar pateri. Jika sudah keluar paterinya rendamkan badanku ke dalam kolam, kata Joko Tole meyakinkan. Badan Joko Tole dibakar dengan kayu, keluarlah benda cair putih dari pusarnya. Bagian-bagian pintu gerbang segera dilekatkan. Akhirnya pintu gerbang yang indah dan megah selesai dalam satu malam.

Raja Brawijaya sangat gembira menyaksikan pintu gerbang itu. Para pandai besi mendapat hadiah. Sedangkan Joko Tole menerima hadiah paling besar berupa perhiasan emas dan perak. Empu Keleng segera pulang ke Madura. Tolong bawalah semua hadiah dari Raja untuk ibu di rumah, kata Joko Tole. Saya akan tetap tinggal di Majapahit. Raja Brawijaya sangat berterima kasih kepada Joko Tole. Ia diangkat menjadi menteri Muda. Namanya diganti menjadi Menteri Kodapanole.

Pada suatu hari, salah seorang Bupati dari Blambangan memberontak Raja Brawijaya. Kau kuperintahkan meredam perlawanan Bupati Blambangan. Tenyata Bupati Blambangan telah melarikan diri ke hutan. Ia akhirnya berhasil menangkap Bupati itu. Raja Brawijaya semakin menaruh kepercayaan kepada Menteri Kodapanole. Ia dinikahkan dengan putri raja. Perayaan pernikahan berlangsung meriah.

Tidak lama kemudian, menteri Kodapanole memohon pulang ke Madura. Ia memerintah sebagai Bupati Sumenep. Ia sangat dicintai rakyatnya. Ayah angkatnya, Empu Keleng diajak untuk tinggal di Kabupaten. Aku ingin membangun desa, kata Empu keleng menolak ajakan secara halus dari Bupati Sumenep itu. Empu Keleng dan istrinya tetap tinggal di desa.

Pada suatu hari menteri Kodapanole sakit keras. Akhirnya ia meninggal dunia. Rakyatnya berkabung. Jenasah menteri Kodapanole dimakamkan di desa Lanjhuk. Sebuah desa yang tidak jauh dari kota Sumenep.

*disadur dari buku cerita asli Indonesia no.38

http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar